Ayah dan Ibu yang kucintai,
Mungkin kalian terkejut membaca surat yang kutulis
ini. Sebegitu seriuskah yang ingin kusampaikan, hingga harus ada waktu khusus
untuk menulis surat yang kuluangkan? Kenapa aku tak langsung saja mengutarakan
isi hati secara lisan?
Jawabannya sederhana. Karena selama ini, ketika aku hendak
menyampaikan apa yang aku rasa, Ayah dan Ibu selalu menghindarinya. Kita memang
lebih senang berkompromi. Berbicara hal-hal yang tak terlalu dalam, yang tak
terlalu menguras perasaan.
Namun sudah saatnya aku angkat bicara kembali. Mungkin kalian
telah menebak tentang apa. Bagaimana lagi? Separuh hari-hariku selama ini
kuhabiskan bersamanya. Tidak membicarakannya sama saja dengan menganggap
separuh hidupku tak pernah ada.
Ayah, Ibu: dia memang terlalu sederhana untuk bisa dibilang
sempurna. Namun apakah kesederhanaannya layak jadi alasan untuk menganggapnya
tak pernah ada?
Ayah, aku mengerti
pentingnya masa depanku untukmu. Aku pun tak lupa, tetesan keringatmu
adalah upaya untuk membuatku bahagia.
Setiap hari, sejak aku kecil, aku melihat Ayah berpeluh keringat
dari pagi hingga malam, kadang hingga pagi lagi. Aku tahu semua itu Ayah
lakukan demi senyumku dan adik-adikku. Ayah tak ingin
pendidikanku terlantar, atau manyun karena tak bisa mendapatkan mainan
yang diinginkan. Sekuat tenaga, Ayah membuka jalanku meraih cita-cita.
Ayah memang selalu ingin yang terbaik untukku, termasuk dalam
urusan pasangan. Aku selalu ingat nasihat Ayah untuk berpikir panjang sebelum
jatuh cinta. Meski nampak tak acuh, percayalah, aku selalu mengingatnya. Dan
pilihanku yang sekarang ini pun telah kutentukan bukan hanya dengan hati, namun
pikiran yang panjang.
Aku tahu sejak
dulu: dia dan kita berbeda. Namun, Ayah dan Ibu tak pernah
mengajarkanku untuk menghargai orang hanya dari sisi sedangkal uang
Pria itu mungkin jauh dari harapan ayah dan ibu
Aku mengenal dia beberapa tahun yang lalu dalam sebuah kegiatan.
Dia, pria itu, perlahan mengambil perhatianku. Walau sejak awal aku tahu akan
sulit untuk Ayah dan Ibu menerimanya sebagai pasanganku, kebaikan dan
ketulusannyalah yang meyakinkanku untuk berjalan beriringan
dengannya.
Pria yang bersamaku saat ini mungkin latar belakang kehidupannya
jauh berbeda dari kita. Tak sepertiku yang cukup menunggu kiriman dari Ayah-Ibu
setiap bulannya, dia perlu bekerja keras untuk menyintas
hari-harinya. Jujur, ini justru salah satu hal yang membuatku merasa ia
istimewa. Ketika menyerah menjadi opsi yang begitu mudah, ada berapa banyak
orang di dunia ini yang gigih bertahan menaklukkan keterbatasan? Tak
banyak, aku kira. Dan di antara yang sedikit itu, ia salah satunya.
Aku justru merasa terhormat bahwa ia mau bersamaku. Aku yang tak
pernah tahu makna lelah mencari nafkah, selalu terjamin hidupnya dan bisa
bersantai-santai saja – dan ia percaya diriku punya sesuatu yang bisa
mengembangkannya.
Bersamanya, hidup
adalah urusan yang harus diperjuangkan. Tapi bukankah perjuangan yang sama
juga pernah Ayah dan Ibu rasakan?
Mungkin kami akan hidup sederhana dan berjuang, sama seperti
kalian dulu
Memutuskan menghabiskan hidup dengannya sama dengan
menggulung lengan bajuku dan siap berusaha. Tak mungkin aku mengemis
kenyamanan pada Ayah dan Ibu lagi, seperti yang dengan mudah kudapat saat
tinggal bersama kalian. Untuk hidup dengan nyaman, kami berdua harus
berjuang. Dan karena aku tak dibutakan perasaan, aku tahu perjuangan ini suatu
saat pasti akan melewati titik gagal. Hal yang sejak dulu berusaha Ayah
dan Ibu jauhkan dari kehidupan anak perempuannya.
Tapi, bukankah perjuangan semacam ini yang pernah Ayah-Ibu
rasakan di awal kebersamaan dulu? Aku cukup mengerti bahwa kenyamanan hidup
keluarga kita saat ini tak diraih dengan jentikan jari. Saat aku masih lebih
kecil, mengapa Ayah harus sering meninggalkan rumah? Mengapa Ibu harus bersusah-payah merawatku
sembari menjalani kehidupan kedua di kantornya? Mengapa uang jajan yang kupunya
diberi alokasi, dan mengapa aku dimarahi ketika Ayah dan Ibu menilaiku
menghambur-hamburkannya? Sebagai keluarga, kita pernah ada di bawah sana. Bukankah
ini bukti bahwa masa perjuangan penuh ketidaktentuan itu tak akan
berlangsung selamanya?
Kalian tahu aku
bukan orang yang mudah dibutakan cinta. Aku paham betul siapa yang kupilih, dan
hafal berbagai sifatnya.
Aku tak buta karena cinta
Ayah dan Ibu mendidikku untuk cerdas dalam berpikir. Ibu tentu
paham bahwa aku bukan perempuan bodoh yang mudah dibuat lupa daratan karena
perasaan. Melihat kegigihanku meraih cita-cita, tekadku untuk menyelesaikan
sekolah dan segera mengambil kerja, apakah Ibu bisa mengecapku sebagai
anak perempuan yang menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan cinta?
Sebelum menuliskan surat ini, aku telah menimbangnya
berkali-kali. Melihat dan mengenal sosoknya membuat akal sehatku berkata
dialah orangnya. Sifatnya yang beridealisme kuat dan pekerja keras membuatku
terpacu untuk tidak hanya sekedar berpangku tangan. Bersamanya aku tahu apa
yang aku inginkan, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Dia memang dari keluarga sederhana yang biasa saja. Tapi, dia
tahu apa yang menjadi kemampuannya dan mampu menggunakannya untuk sedikit demi
sedikit mengubah — bukan hanya hidupnya — namun juga orang-orang di sekitarnya.
Kalian
mendidikku untuk mandiri. Takkan pernah aku lepas tangan
dan membiarkan pasanganku berjuang sendiri untuk kami.
Aku pun akan berusaha untuk hidupku
Selain pendidikan dan kemampuan, kalian mendidikku untuk tak
pernah berserah pada orang lain. Saat ini, aku tumbuh menjadi perempuan mandiri
yang juga mampu menghidupi diri sendiri. Meski pria diharapkan
menjadi tulang punggung keluarga, aku tak akan sepenuhnya bergantung pada
dia yang akan menjadi suamiku kelak. Aku tak akan membiarkan ilmu yang
kumiliki mandeg hanya karena berstatus istri.
Jadi kalau dia masih berjuang, aku pun punya cadangan untukku,
syukur-syukur untuk kami berdua. Ayah dan Ibu tak perlu khawatir kalau suatu
saat aku harus”pulang” karena dapurku dan dia lama tak mengepul.
Dan percayalah,
tak ada yang ingin dibuktikan olehnya lebih dari janji bahwa kami akan
bahagia bersama
Aku tak akan mengecewakan kalian
Jika ada pria yang paling mencintaiku, sudah pasti Ayahlah
orangnya. Mungkin jika kita harus membandingkan, cintanya padaku tak sebesar
cinta Ayah. Apa yang telah ia korbankan tak akan pernah menyamai pengorbanan
Ayah. Tapi soal masa depan, jangan ragukan tekadnya untuk berjuang. Suatu saat
dia juga akan menjadi seorang ayah, dan sama seperti yang Ayah lakukan, dia
juga berjuang demi kebahagian anak-anak kami.
Aku tak memaksakan diri untuk bisa bersamanya. Namun bila kami
memang ditakdirkan untuk bersatu, kumohon terimalah dia dengan tulus sebagai
pria yang akan berjalan seiring dengan langkahku.
Dariku,
Yang selalu kalian
banggakan.
http://www.hipwee.com/hubungan/bapak-ibu-aku-tahu-kalian-sayang-padaku-tapi-bolehkah-dia-yang-sederhana-meminangku/